Juli 14, 2025

Sentul di Hutan: Mencari Sandoricum Beccarianum di RER

Mungkin kamu pernah mendengar tentang kawasan Sentul di Jawa Barat – hamparan hijau berbukit yang dipenuhi lapangan golf dan perumahan suburban di pinggiran Bogor, berpadu dengan kebun teh dan sisa-sisa hutan. Tapi tahukah kamu bahwa ada jenis sentul lainnya? Yang satu ini tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda, di lahan gambut Riau, Sumatra Selatan.

Buah sentul di Riau berasal dari pohon Sandoricum beccarianum, yang tumbuh secara alami di hutan dataran rendah dan tanah mineral. Di Restorasi Ekosistem Riau (RER), pohon ini dan buahnya termasuk dalam deretan spesies flora yang kami lindungi. Di Jawa Barat, kerabat dekat pohon ini adalah Sandoricum koetjape, yang lebih dikenal dengan nama ‘kecapi’.

Dalam artikel ini, kita akan melihat lebih dekat sentul yang satu ini, untuk mengenal ciri khasnya, peran pentingnya dalam ekosistem hutan, dan berbagai upaya yang dilakukan untuk melindunginya di alam liar. Jadi, lain kali saat kamu bermain golf di kawasan Sentul dekat Bogor, ingatlah bahwa ada ‘hijau’ lain yang tak kalah penting, yang menjadi inspirasi dari kawasan rindang dan menyegarkan di Jawa Barat ini.

Dari Penemuan hingga Pelestarian: Kisah Sandoricum Beccarianum

Dinamai untuk menghormati Odoardo Beccari, seorang ahli botani dan penjelajah asal Italia yang terkenal di abad ke-19, Sandoricum beccarianum adalah pohon tropis berkanopi atas yang tumbuh di hutan rawa gambut dan hutan dataran rendah campuran di Semenanjung Malaysia, Sumatra, Kalimantan, dan sebagian wilayah Thailand. Termasuk dalam keluarga Meliaceae, pohon ini dapat tumbuh setinggi 10 hingga 42 meter, dengan diameter batang mencapai 75 cm.

Buah sentul dari Sandoricum beccarianum yang ditemukan di Riau berukuran kecil dan berbentuk bulat, dengan diameter sekitar 2–6 cm. Saat matang, warnanya tampak jingga kemerahan hingga kuning kemerahan, dan dikenal memiliki daging buah yang berair dengan rasa asam-manis yang khas. Sebagai perbandingan, buah sentul dari pohon kecapi berukuran lebih besar dan lebih digemari orang-orang. Selama beberapa generasi, masyarakat yang mencari hasil hutan di Jawa Barat telah menjadikan buah ini sebagai camilan segar dalam perjalanan. Namun, buah ini juga kerap dipetik dan dibawa pulang untuk diolah menjadi selai, minuman, hidangan penutup, hingga bumbu masakan.

Buah Hutan: Mengenal Sentul Lebih Dekat

Buah Sandoricum beccarianum memiliki kulit yang halus dan bentuk yang bulat atau agak lonjong. Bunganya tumbuh dalam kelompok kecil yang harum berwarna kuning kehijauan hingga putih, dan kerap menarik perhatian lebah tak bersengat (kelulut) serta berbagai penyerbuk alami lainnya di hutan. Pohon ini biasanya mulai berbunga setelah berusia sekitar 5–7 tahun (atau lebih cepat, sekitar 3–4 tahun pada tanaman hasil okulasi), yang dipicu oleh tumbuhnya tunas baru. Buahnya kemudian akan matang dalam waktu sekitar 2–5 bulan, tergantung pada jenis dan lokasi tumbuhnya.

Buah sentul menjadi sumber makanan bagi berbagai satwa hutan, termasuk kelelawar, burung, dan primata seperti siamang dan monyet ekor panjang. Hewan-hewan yang memakan buah ini kemudian ‘membalas kebaikan’ pohon dengan menyebarkan bijinya melalui kotoran, sambil terus menjelajahi hutan. Dan tentu saja, salah satu pelanggan setia pohon ini adalah kita sendiri. Di Indonesia dan Malaysia, daging buah sentul biasa dimakan segar, terkadang diberi bumbu. Sementara di Filipina, kulit buah Sandoricum koetjape dimasak bersama santan, daging babi, dan lada menjadi hidangan bernama sinantolan. Daging buahnya juga digunakan dalam sup asam seperti sinigang.

Sandoricum beccarianum: Penjaga Hutan, Sumber Kehidupan

Pohon Sandoricum beccarianum tumbuh secara alami di hutan dataran rendah, menjadikan kawasan restorasi RER sebagai habitat yang ideal bagi mereka. Di sini, pohon-pohon ini membantu menutup tajuk hutan dan menciptakan keteduhan, sekaligus menjadi sumber makanan dan tempat berlindung bagi berbagai satwa liar.

Bagi manusia, pohon ini juga menawarkan beragam manfaat. Dahulu, batangnya yang lurus sering dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan furnitur, sementara buahnya dikenal memiliki banyak kegunaan kuliner dan pengobatan. Kulit batang, akar, dan daunnya digunakan dalam berbagai ramuan herbal tradisional Indonesia untuk mengatasi penyakit seperti diare, demam, dan nyeri haid. Rebusan akarnya dikenal efektif untuk meredakan masalah pencernaan, sementara ekstrak kulit buahnya mengandung sifat antibakteri dan anti-inflamasi.

Dengan begitu banyak potensi manfaat dan peran yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, Sandoricum beccarianum memiliki tempat tersendiri dalam budaya Indonesia, tercermin dalam resep-resep tradisional, bahan masakan, hingga nama jalan dan wilayah tempat tinggal.

Restorasi, Pemulihan, dan Perlindungan di RER

Melihat peran penting Sandoricum beccarianum dalam ekosistem serta nilainya dalam budaya lokal, upaya restorasi di RER memiliki arti yang lebih luas, baik bagi alam maupun masyarakat. Saat ini, RER mengelola sembilan tempat persemaian pohon (nursery), dengan tujuh berada di Semenanjung Kampar dan dua lagi di Pulau Padang. Nursery terbesar terletak di Semenanjung Kampar, dan mampu menampung hingga 25.000 bibit dalam satu waktu. Bibit-bibit ini berasal dari tiga sumber di hutan alami yang berada di sekitarnya: anakan pohon yang tercabut, biji yang jatuh dari pohon hutan, serta stek yang diambil secara hati-hati dari pohon dewasa pilihan.

Setiap tahun, target restorasi RER mencakup penanaman 400 pohon per hektare dengan jarak tanam 5×5 meter, disertai pemantauan lanjutan setiap enam bulan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan dan menjadi dasar perencanaan penanaman berikutnya. Selain dibudidayakan di nursery Pulau Padang, S. beccarianum juga tumbuh secara alami di hutan dataran rendah Riau. Melalui perlindungan dan pemantauan secara menyeluruh di kawasan ini, RER berupaya memastikan spesies ini dapat bertahan hidup dan berkembang secara alami, terlindungi dari ancaman seperti kebakaran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan.

Laporan Kemajuan RER 2023