Juli 07, 2025
Terletak di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatra, lanskap Restorasi Ekosistem Riau (RER) mencakup lebih dari 150.000 hektare hutan gambut yang secara ekologis sangat penting. Selain berperan sebagai penyerap karbon alami, hutan ini juga menjadi tempat berlindung bagi berbagai satwa langka dan rentan punah, termasuk beberapa spesies paling terancam di dunia.
Bagi tim konservasi yang bekerja langsung di lapangan, melindungi spesies-spesies ini adalah hal yang sangat penting, baik untuk saat ini maupun masa depan. Seperti yang dijelaskan oleh Dian Andi Syahputra, Asisten Keanekaragaman Hayati di RER, “kami melindungi hutan bukan hanya demi karbon dan iklim, tapi juga karena hutan ini adalah rumah bagi spesies yang tidak bisa ditemukan di tempat lain di dunia.”
Dalam artikel ini, kami akan memperkenalkan lima satwa terancam yang hidup di hutan RER, serta mendengarkan cerita dari para pelaku konservasi yang bekerja langsung di lapangan untuk memastikan hewan-hewan luar biasa ini dapat terus bertahan hidup dan berkembang di alam liar.
Sebagai satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia, Harimau Sumatra kini berstatus kritis dan dikenal sebagai hewan penyendiri. Dengan populasi di alam liar yang diperkirakan kurang dari 400 ekor, setiap kemunculannya di wilayah RER menjadi simbol harapan.
“Harimau adalah predator puncak dan sangat penting bagi kesehatan ekosistem,” jelas Yoan Dinata, Manajer Konservasi Keanekaragaman Hayati di RER. “Kehadiran mereka menandakan bahwa upaya restorasi kami berjalan dengan baik.”
Trenggiling Sunda merupakan salah satu hewan yang paling sering diperdagangkan secara ilegal di dunia, terutama karena sisiknya yang sangat dihargai dalam pengobatan tradisional. Hewan ini juga sudah lama diburu sebagai sumber makanan. Sifatnya yang tertutup dan aktif di malam hari membuat trenggiling sulit ditemukan. Makanan utamanya adalah semut dan rayap; perilaku yang berperan penting dalam mengendalikan hama di alam.
Meski sangat pemalu dan sulit ditemui, keberadaan trenggiling di wilayah RER telah terekam melalui kamera jebak (camera trap) dan pengamatan tim lapangan, yang menegaskan bahwa spesies ini masih hidup di kawasan tersebut.
Bebek yang terancam punah secara global ini lebih menyukai kolam-kolam tenang di hutan rawa gambut yang tidak terganggu – habitat yang kini semakin langka di Asia Tenggara. Dahulu tersebar luas, kini populasi Mentok Rimba diperkirakan kurang dari 1.000 ekor di seluruh dunia.
“RER menjadi salah satu benteng terakhir spesies ini di Indonesia,” ujar Muhammad Iqbal, Ekolog RER. “Kelangsungan hidup mereka bergantung pada upaya kita menjaga habitat air tawar terpencil ini.”
Dikenal lewat gerakan megayunnya yang lincah dan nyanyiannya yang merdu, Owa Ungko memegang peran penting dalam jalinan ekologi hutan. Owa Ungko bertindak sebagai penyebar biji, sehingga membantu proses regenerasi hutan secara alami.
Sayangnya, hilangnya habitat dan perdagangan hewan peliharaan ilegal telah mengancam populasi mereka di seluruh Sumatra. Di RER, di mana pohon-pohon dan kanopi hutan dibiarkan tidak terganggu, suara Owa Ungko masih kerap terdengar saling bersahutan saat fajar dan senja; mengingatkan kita seperti apa seharusnya hutan yang sehat terdengar.
Beruang Madu merupakan spesies beruang terkecil di dunia. Ciri khasnya adalah tanda berwarna cerah di bagian dada, dan lidah panjang yang digunakannya untuk mencari madu dan serangga. Hewan penyendiri yang juga pandai memanjat (arboreal) ini kini berstatus rentan (vulnerable) akibat perusakan habitat dan perburuan liar.
Studi lapangan terbaru (Agustus–November 2024) oleh Dr. David Lee dan Meisye Wulandari menemukan bahwa Beruang Madu menghuni berbagai jenis habitat di kawasan RER, mulai dari hutan primer di bagian dalam hingga area yang pernah ditebang, dan bahkan area yang berdekatan dengan perkebunan. Temuan ini menegaskan pentingnya perlindungan kawasan ini, yang menjadi salah satu benteng terakhir bagi keberlangsungan hidup beruang madu di alam liar.
Bagaimana RER Melindungi Keanekaragaman Hayati dan Satwa Liar Terancam Punah
Pendekatan konservasi yang dijalankan oleh RER merupakan model holistik untuk konservasi berskala lanskap yang kini menjadi acuan bagi berbagai pihak di kawasan ini. Pendekatan ini dikenal dengan nama PARM, yang mencakup Perlindungan, Asesmen, Restorasi, dan Manajemen.
Berikut penjelasan bagaimana masing-masing elemen mendukung upaya perlindungan spesies-spesies yang telah disebutkan sebelumnya – dan banyak spesies lainnya – yang hidup di kawasan RER:
Perlindungan adalah langkah pertama dan paling krusial. Fokus utamanya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut melalui patroli hutan (yang kerap melibatkan anggota masyarakat sekitar); sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran; pemantauan perambahan, perburuan, dan penebangan liar; pemeliharaan zona penyangga (buffer zone) dan pengendalian akses. Perlindungan menciptakan stabilitas kawasan dan menciptakan kondisi yang dibutuhkan bagi spesies untuk berkembang, dan bagi ekosistem yang lebih luas untuk pulih.
Setelah suatu area dinyatakan aman, RER melakukan asesmen ilmiah secara menyeluruh untuk mendokumentasikan keanekaragaman hayati (flora, fauna, habitat, dan lainnya), memahami kondisi hidrologi dan gambut, memetakan potensi ancaman (seperti risiko kebakaran, spesies invasif, atau aktivitas manusia), serta menentukan wilayah prioritas untuk dilakukan restorasi atau diteliti lebih lanjut. Asesmen ini membentuk dasar ilmu pengetahuan untuk pengambilan keputusan dan strategi manajemen adaptif berbasis data.
Menggunakan hasil asesmen yang dilakukan secara rutin, RER bekerja untuk merestorasi kawasan yang telah rusak dengan menanam kembali pohon-pohon lokal, membasahi kembali lahan gambut yang mengalami kekeringan, dan membentuk kembali aliran air alami. Secara praktik, pekerjaan ini menggabungkan upaya seperti mendukung regenerasi alami (dengan menghilangkan hambatan pertumbuhan), melakukan penanaman ulang di area yang rusak parah, penutupan kanal dan pemulihan aliran air alami, serta peningkatan kualitas habitat agar mampu menarik dan mendukung kehidupan satwa liar. Setiap pendekatan restorasi disesuaikan dengan kondisi dan fungsi ekologis masing-masing lokasi.
Agar lanskap yang telah direstorasi tetap sehat dan tahan terhadap tekanan lingkungan, manajemen jangka panjang sangat diperlukan. Manajemen ini mencakup pemantauan berkala terhadap satwa dan kesehatan ekosistem, pelibatan dan edukasi masyarakat, perencanaan tata guna lahan yang adaptif, integrasi konservasi dengan penghidupan berkelanjutan, serta kemitraan dengan lembaga ilmiah dan sektor swasta. Manajemen efektif yang dilakukan secara menerus inilah yang menyatukan seluruh elemen PARM dalam sebuah siklus jangka panjang yang berkelanjutan.
Setiap upaya di atas hanya mungkin dilakukan berkat dukungan lokal. RER bermitra dengan masyarakat sekitar untuk mendorong penghidupan berkelanjutan, meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi, serta melibatkan warga dalam kegiatan pemantauan keanekaragaman hayati. “Kami tidak hanya melindungi satwa,” kata Dian Andi Syahputra. “Kami sedang membangun masa depan, di mana manusia dan alam bisa hidup berdampingan dan berkembang bersama.”
Memulihkan Alam, Menjaga Masa Depan
Pendekatan PARM bukanlah proses yang berjalan secara linear, melainkan siklus yang bersifat berulang, dengan cakupan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan yang berbeda-beda serta tantangan nyata di lapangan. Seiring kondisi berubah, beberapa area tertentu mungkin perlu kembali menjalani siklus untuk asesmen ulang, restorasi dengan target yang lebih spesifik, atau perlindungan yang diperkuat.
Keberhasilan konservasi tidak bisa dicapai sendirian. Dibutuhkan upaya berkelanjutan, komitmen dari masyarakat lokal, dan perhatian dari lembaga internasional untuk melindungi spesies yang menjaga ekosistem tetap hidup dan seimbang. Melalui inisiatif seperti RER dan pendekatan inovatif PARM, Indonesia menunjukkan bahwa kita bisa memulihkan keanekaragaman hayati yang berkurang. Semua dimulai dari satu hutan, dan satu spesies, dalam satu waktu.