Agustus 14, 2025
Saat Lucita Jasmin, Director of Sustainability and External Affairs at APRIL, berbicara di IUCN Leaders Forum di Jenewa, ia menyampaikan pesan yang jelas: Pendanaan konservasi harus berkembang, dan harus dilakukan dengan cepat.
Dalam pemaparannya, Lucita menyoroti program Restorasi Ekosistem Riau (RER) sebagai model yang mengintegrasikan alam secara langsung ke dalam operasional bisnis. “Kami mendorong transformasi model bisnis, di mana alam benar-benar menjadi bagian dari pendekatan bisnis itu sendiri,” ujar Lucita. Itu merupakan ambisi yang sangat relevan di Asia, kawasan di mana 60 persen PDB (Produk Domestik Bruto) bergantung pada ekosistem yang sehat, namun pendanaan untuk alam masih sangat minim.
Meski nilai ekonominya sudah jelas, investasi dalam inisiatif yang berpihak pada alam masih jauh dari cukup. Seperti yang Lucita sampaikan, masih sedikit perusahaan yang benar-benar memahami ketergantungan mereka terhadap jasa-jasa alam. Banyak yang masih menganggap konservasi sebagai hal di luar bisnis inti, dan baru bertindak saat bencana cuaca ekstrem atau gangguan rantai pasok memaksa mereka.
Sebagai upaya menjembatani kesenjangan pendanaan konservasi, APRIL mengalokasikan dana sebesar US$100 juta selama satu dekade untuk memulai program restorasi melalui inisiatif Restorasi Ekosistem Riau (RER). Komitmen ini kemudian diperkuat pada tahun 2020 dengan peluncuran conservation fund, yaitu mekanisme pendanaan yang mengembalikan US$1 ke alam untuk setiap ton serat yang dikirim ke pabrik. Saat ini, perusahaan telah mencapai 77 persen dari target ambisiusnya: melindungi satu hektare hutan untuk setiap satu hektare area tanaman industri (1-for-1).
Melalui skema pungutan internal saja, hampir US$15 juta berhasil terkumpul sepanjang tahun 2024 untuk mendukung upaya konservasi lanjutan. Sejak 2020, total kontribusi yang telah dikumpulkan mencapai lebih dari US$60 juta. Pendekatan ini bersifat sirkular yang bukan sekadar bentuk kepedulian terhadap alam, melainkan juga cara untuk menjaga keberlangsungan bisnis APRIL di masa depan.
Seperti yang ditekankan Lucita dalam forum di Jenewa, “kelangsungan jangka panjang selalu dimulai dari keberlanjutan jangka panjang ekosistem alam itu sendiri.” Bagi APRIL, konservasi bukan sekadar program CSR, melainkan strategi yang selaras dengan logika bisnis.
Program RER telah membantu mewujudkan apa yang disebut Lucita sebagai model “produksi-proteksi” (production-protection model), yakni pendekatan yang menyeimbangkan aktivitas ekonomi dengan pelestarian ekosistem. Dengan secara bijak mengelola hampir 1 juta hektare konsesi kehutanan, di mana 607.000 hektare untuk tanaman industri dan 465.000 hektare untuk konservasi, APRIL menunjukkan bahwa investasi konservasi bisa tertanam dalam operasional bisnis inti.
Kini, model ini siap untuk diperluas. Bersama perusahaan induknya, Royal Golden Eagle (RGE), APRIL berencana menerapkan pendekatan pendanaan konservasi serupa di operasi mereka di Brasil dan Tiongkok. Ini menjadi tanda komitmen yang lebih luas untuk mengintegrasikan modal alam ke dalam praktik bisnis global.
Melihat ke depan, Lucita meyakini bahwa babak baru dalam pendanaan konservasi akan ditentukan oleh kolaborasi yang lebih kuat dengan masyarakat lokal. “Perlindungan alam sangat bergantung pada kondisi sosial ekonomi,” ujarnya. “Keduanya tidak bisa dipisahkan.”
Filosofi ini menjadi dasar dari inisiatif kemitraan konservasi (Community Conservation Partnerships) dari APRIL, yaitu program yang memberikan dukungan kepada desa-desa yang berkomitmen untuk menjaga tutupan hutan. Komunitas yang berpartisipasi menerima bantuan program, termasuk peralatan dan infrastruktur, senilai sekitar US$10.000. Sebelum sebuah desa bergabung, APRIL melakukan pengecekan lapangan untuk menilai kesiapannya. Setelah itu, dilakukan pendampingan secara rutin sepanjang masa program guna memastikan keberlanjutannya.
Di saat yang sama, APRIL juga menjajaki potensi dari skema kredit karbon. Kawasan RER memiliki kapasitas untuk menghasilkan lebih dari 300 juta ton setara CO₂. Kapasitas ini merupakan peluang sangat besar bagi lingkungan. Namun seperti yang disampaikan Lucita di Jenewa, dibutuhkan perubahan pola pikir. Menurutnya, banyak perusahaan yang “lebih nyaman berinvestasi pada alam daripada membayar jasa ekosistem,” dan menjembatani kesenjangan pemahaman tersebut akan menjadi kunci untuk memperluas dampak nyata.
Pada akhirnya, apa yang dilakukan APRIL menunjukkan bahwa melindungi alam dan membangun bisnis yang menguntungkan bukanlah dua tujuan yang saling bertentangan, melainkan dua sisi dari satu koin. Dengan menanamkan konservasi ke dalam strategi bisnis, menyalurkan dana melalui mekanisme inovatif, dan membangun kemitraan erat dengan masyarakat, APRIL turut menciptakan masa depan di mana keberhasilan finansial dan kesehatan ekosistem berjalan beriringan.
Tantangan dalam pendanaan konservasi memang tidak mudah. Namun dengan kepemimpinan yang pragmatis, model yang bisa direplikasi, dan desakan yang semakin kuat, perusahaan seperti APRIL membuktikan bahwa masa depan yang berpihak pada alam bukan hanya mungkin, tetapi juga dibutuhkan.